KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat lllahi Rabbi
yang sebagaimana telah memberikan kami ni’mat kesehatan sehingga kami dapat
menyusun makalah yang bejudul “Tuduhan Kodifikasi Al-Qur’an”. Tak lupa sholawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi kita Muhammad SAW yang
sebagaimana telah memberi kita jalan petunjuk untuk mempelajari kehidupan di
dunia ini dengan kebenaran yang dibawa beliau untuk sebagai sumber utama bagi
umat Islam yakni “Al-Qur’an al-karim”.
Dalam penyusunan makalah ini kami mengambil rujukan dari beberapa
buku dan adapula yang dari interrnet. Kami sebagai penulis makalah ini hanyalah
bisa menuliskan sesuai pemahaman kami tentang materi yang telah diberikan
kepada kami dan mungkin pemahaman yang lebih detail lagi lebih banyak dan lebih
komplit dibandingkan makalah yang kami buat, oleh sebab itu bila ada kesalahan
dalam penulisan atau pengertian pengetahuan, kami selaku penulis mengucapkan
mohon maaf yang sebanyak-banyaknya.
Daftar
Isi
KATA PENGANTAR
|
|
Daftar Isi........................................................................................................
|
2
|
BAB
I..............................................................................................................
|
3
|
PENDAHULUAN.........................................................................................
|
3
|
A.
LATAR
BELAKANG......................................................................
|
3
|
B.
RUMUSAN
MASALAH..................................................................
|
3
|
C.
TUJUAN............................................................................................
|
3
|
BABII
|
|
PEMBAHASAN...........................................................................................
|
4
|
A.
Sikap Orientalis Terhadap Pengkodifikasian Al-Qur’an.............
|
4
|
B.
Tuduhan Adanya Kesalahan Dalam Penulisan Al-Qur’an..........
|
8
|
C.
Tuduhan
Atas Kemutawatiran Al-Qur’an.....................................
|
11
|
D.
Tuduhan
Ketidak Sempurnaan Al-Qur’an....................................
|
13
|
BAB III
|
|
A.
KESIMPULAN................................................................................
|
15
|
B.
PENUTUP........................................................................................
|
15
|
Daftar Pustaka..............................................................................................
|
16
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi orang muslim, Al-Qur’an
merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi
Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya
terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan
hidup baik di dunia maupun akhirat.
Tidak ada kitab suci yang demikian besar pengaruhnya terhadap
masyarakat dan begitu penting perannya dalam sejarah peradaban manusia selain Al-Qur’an.
dari abad ke abad kitab suci ini telah menjadi sumber inspirasi para penunutut
ilmu, pemburu hikmah dan pencari hidayah. Para pujangga bertekuk lutut di
hadapannya, para ulama tak habis membahasnya. Dialah satu-satunya kitab kitab
suci yang yang menyatakan dirinya bersih dari keraguan (la rayba fihi),
dijamin kesuluruhan isinya (wa inna lahu lahafizun), dan tiada mungkin
dibuat tandingannya (laa ya’tuna bimislihi).[1]
Di dalam Al-Qur’an pun banyak ayat-ayat mengutarakan penhargaan
yang tinggi terhadap huruf, pena, dan tulisan.
Karena itu bertambahlah keinginan belajar menulis, membaca dan juga
mempelajari hingga makna-makna yang tersirat dalam Al-Qur’an. Pada zaman
terdahulu nabi Muhammad SAW telah mempunyai penulis tersendiri untuk menuliskan
ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diturunkan. Penulis-penulis beliau yang terkenal
ialah Ali bin Abi Tholib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan
Muawiyah. Dan yang paling banyak menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an adalah Zaid bin Tsabit dan Muawiyah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sikap Orientalis terhadap pengkodifikasian Al-Qur’an?
2.
Mengapa
terjadi tuduhan adanya kesalahan terhadap penulisan Al-Qur’an?
3.
Bagaimana
tuduhan atas kemutawatiran Al-Qur’an?
4.
Bagaimana
penjelesan mengenai tuduhan ketidak sempurnaan Al-Qur’an?
C.
Tujuan
1.
Mampu
mengetahui dan memahami sejarah awal dalam proses pembukuan Al-Qur’an
2.
Mengetahui
permasalahan dan mengetahui tentang kebenaran tentang penulisan Al-Qur’an
3.
Bisa
menjelaskan tentang sikap orientalis dengan adanya tuduhan-tuduhan terhadap Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sikap Orientalis Terhadap Pengkodifikasian Al-Qur’an
Terlepas dari berbagai upaya dekonstruksi yang terjadi dan
berlangsung terhadap kitab suci Al Qur’an, secara historis telah terbukti bahwa
beberapa sistem telah membantu eksistensi Al-Qur’an untuk tetap muncul sebagai
manifestasi asli dan otentik sebagaimana ketika pertama kali turun. Beberapa
anasir yang telah menjaga kemurnian Al-Qur’an tersebut antara lain sebagai
berikut :[2]
1.
Hafalan
dari para penghafal Al-Qur’an
2.
Naskah
Al-Qur’an yang ditulis untuk Nabi
3.
Naskah
Al-Qur’an yang ditulis oleh para sahabat.
Namun rupanya kaum orientalis tidak kehabisan jalan untuk
menanamkan hegemoni guna menguasai arus pemikiran. Beberapa hal di atas yang
selama ini telah digunakan untuk menjaga keautentikan Al-Qur’an tidak sepi dari
berbagai upaya dekonstruksi. Beberapa penghafal Al-Qur’an mulai dipertanyakan
kredibilitasnya, naskah-naskah yang diragukan keautentikannya, dan berbagai
dialek yang dipersoalkan sudah menjadi makanan harian dikalangan mereka. Tidak
kurang untuk mencapai tujuan yang sama, mereka mempertanyakan kewenangan dalam
tafsir Al-Qur’an dan memperjuangkan metodologi baru dalam bidang kajian
tersebut. Barangkali memang belum tiba saatnya, kaum orientalis mempertanyakan
siapa sebenarnya diri mereka dan atas dasar motivasi apa mereka melakukannya
serta sejauh mana obyektifitas kajian yang dilakukannya.
Imaji-imaji dan rekayasa orientalis tentang Nabi Muhammad SAW yang
menandaskan bahwa beliau telah menciptakan Al-Qur’an dan mengilustrasikan pada
setiap manusia sebagai firman Allah adalah belahan masa lalu. Orang-orang
musyrik dan kafir Makah mengklaim bahwa Al-Qur’an sebagai kebohongan seraya
berkata: “Al-Qur’an adalah perkataan seorang penyair, pcrkataan orang gila,
perkataan pemuda yang kerasukan jin, dan perkataan ahli sihir.” Mereka
menandaskan pula, bahwa al. Qur’an merupakan bagian dan mushaf-mushaf
terdahulu. Ungkapan-ungkapan orientalis klasik tersebut sama dengan apa yang
diungkapan oleh para orientalis kontemporer, sebab kekufuran mereka itu satu
aliran, dan karena setiap musuh Islam bertujuan untuk menciptakan
wewenang-wewenang yang dapat memutus relasi seorang muslim dengan kitab
sucinya, Al-Qur’an al-Karim, kemudian menciptakan skeptisisme tentang kenabian
Muhammad SAW.
Karya-karya orientalis mengenai sejarah Nabi Muhammad SAW dan
dakwahnya, juga mencakup perbincangan tentang teologi Islam yang diawali dengan
skeptisisme seseorang tentang kebenaran Al-Qur’an, mengilustrasikan Al-Qur’an
sebagai buatan Muhammad saw, dan bahwa aktivitas para sahabat dalam melakukan
kodifikasi Al-Qur’an sebagi sebagai firman Allah justru hanya akan menampakkan
kesederhanaan mereka, serta keimanan para Sahabat pada Nabi Muhammad SAW secara
buta adalah karena hati nurani mereka telah disihir sekte baru yang memusuhi
Islam, menjauhi agamanya dan mencegah penyebaran Islam.
Beberapa Tuduhan Sekitar kemu’jizatan Al-Qur’an dan Bantahannya:
a.
Tuduhan Pertama
Beberapa musuh Islam mengatakan penghinaannya pada Al-Qur’an dan
kepada nabinya, “sesungguhnya Muhammad SAW menerima Al-Qur’an ini dari seorang
pendeta yang bernama Buhaira, lalu ia nisbatkan kepada Allah yang maha luhur
agar orang-orang menduga kesuciannya.
Batalnya
semua tuduhan yang diatas itu karena adanya beberapa hal berikut:
1.
Rasulullah
pergi ke Syam hanya dua kali yang pertama bersama pamannya Abi Thalib dan
ketika itu beliau masih kecil dan yang kedua bersama maesaroh pembantu Siti
Khodijah untuk dagang. Dan belum ada berita mengenai mengenai pelajaran yang
diterima dari Buhaira kepada Nabi. Dan yang pasti bahwa pendeta buhaira pernah
melihat awan yang menaungi Rasul ketika berjalan dan buhaira menceritakan
kepada Abi Tholib untuk segera membawa nabi kembali ke Makkah karena khawatir
akan gangguan orang yahudi, ini di karenakan bahwa Muhammad akan menjadi
pemimoin yang memiliki kedudukan yang tinggi.
2.
Seandainya
Buhaira ini benar-benar merupakan sumber Al-Qur’an, maka ia adalah orang yang
paling patut menerima kenabian dan risalah.
b.
Tuduhan Kedua
Mereka
mengatakan bahwa Al-Qur’an ini dari ajaran Zibr Ar-Rumi, dan Rasul belajar
darinya di Makkah.
Tuduhan
ini telah dijawab opleh Allah sendiri dengan hujjah yang mantap dan disertai
penjelasan yang terang.
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ
يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ ۗ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ
أَعْجَمِيٌّ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
Dan
Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al-Qur’an
itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa
orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam,
sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang.(Q.S. An-Nahl: 103).
c.
Tuduhan ketiga
Muhammad adalah seorang genius yang tiada duanya. Kecendikiawannya
yang istimewa ini, sangat memungkinkan dirinya untuk menjadi sumber
berita-berita tersebut. Al-Qur’an ini adalah hasil dari karangan dan di susun
oleh nabi Muhammad SAW. Karena dia seorang yang berjiwa indah. Jawabnya:
Kata-kata ini keluar dari seorang yang dungu yang tidak mengerti sedikitpun
tentang kehidupan nabi Muhammad, sejarah keluarganya dan bangsanya. Beliau sangat
terkenal diantara mereka sebagai orang yang jujur, benar, bijaksana dan utama,
sehingga menjulukinya As-Sidiq, Al-Amin. Dan nabi sendiri adalah seorang
yang ummi tidak bisa membaca dan menulis.
Hal
ini diperjelas dengan firman Allah SWT.
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ
إِذًا لارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
Dan
kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu
tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu
pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).(Q.S. Al-Ankabut: 48).
d.
Tuduhan Keempat
Mereka mengatakan, “Bahwa kelemahan
manusia untuk mendatangakan semisal Al-Qur’an tidak menunjukan bahwa Al-Qur’an
itu kalam Allah.” Ini lain halnya dengan kelemahan mereka untuk mendatangkan
semisal kata-kata Nabi. Apakah kata-kata Rasul itu datang dari Allah atau
dikatakan bahwa kata-kata nabi itu kata-kata Allah?
Pertama,
hadis nabi, meskipun manusia tidak sanggup untuk mendatangkan yang
sesamanya , orang-orang pandai akan sanggup mendatangkan sebagian dari ayat
yang menyerupainya walaupun hanya satu ukuran hadis atau satu baris dari
kata-kata nabi.
Kedua,
dari segi kedua, apabila Al-Qur’an ini karangan nabi Muhammad SAW.
maka uslub dalam Al-Qur’an dan sunnah itu adalah satu karena keduanya bersumber
dari satu orang.
Firman
Allah SWT.
قل لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ
وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ
بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا.
Katakanlah:
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an
ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun
sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".(Q.S.Al-Isra’: 88).
B.
Tuduhan Adanya Kesalahan Dalam Penulisan Al-Qur’an
Melalui pergulatan dengan berapa bacaan yang telah penulis
selesaikan, penulis melihat ada 3 jalur yang digunakan oleh orientalis dalam
upayanya untuk melemahkan keotentikan Al-Qur’an. Adapun ketiga hal tersebut
adalah sebagai berikut:
a)
Melalui
Paleografi, biasanya menggunakan manifestasi dari bahasa tulis dengan
memperhatikan abjadnya.
b)
Melalui
ortografi, biasanya melalui manifestasi bahasa ejaan yang berlaku dalam
masing-masing dialek.
c)
Melalui
materi dan substansi yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Upaya melemahkan kedudukan Al-Qur’an melalui paleografi dilakukan
dengan mencoba melakukan collecting terhadap naskah-naskah lama Al-Qur’an dan
dibenturkan antara satu dokumentasi catatan dengan catatan yang lainnya.
Perbedaan penulisan dan penggunaan huruf, titik diakritikal, penempatan ayat,
dan sebagainya akan menjadi kajian yang biasanya akan berkutat dan bermuara
pada wacana kesalahan proses transmisi, kodifikasi, dan kompilasi Al-Qur’an.
Namun demikian kajian orientalis melalui pintu paleografi nampaknya belum
menemukan argumentasi yang kuat. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa serangan
orientalis terhadap paleografi ini merupakan bentuk serangan yang mencoba
mendekonstruksi bahasa Arab dan secara tidak langsung akan berimbas pada kajian
bahasa Al-Qur’an dalam kaitannya dengan proses transmisi kitab suci umat Islam
dari generasi ke generasi.
Beberapa kajian orientalis menyebutkan bahwa bahwa inskripsi
alfabetik Arab merupakan perkembangan lebih lanjut dari inskripsi syriac.
Kalangan orientalis memberikan bukti bahwa tulisan awal Al-Qur’an tidak
mengenal adanya titik diakritikal. Sehingga, menurut anggapan mereka, kesalahan
baca serta proses transfer Al-Qur’an antar generasi merupakan persoalan yang
rentan terjadi. Penggunaan tanda baca dan titik baru yang dikenal beberapa
dasawarsa pasca wafatnya Nabi Muhammad merupakan adopsi dan penyesuaian dari
alphabet pinjaman syriac.
Al-Qur’an menggunakan inskripsi Arabic yang merupakan hasil perkembangan
dari inskripsi alfabetik syiriac . Yakob Raha (w.708) menemukan tanda set
pertama (tanda titik dalam alphabet syriac) pada abad ketujuh, sedangkan
Theofilus menemukan set kedua (huruf hidup bahasa Yunani) pada abad kedelapan.
Perlu diingatkan bahwa akhir abad ketujuh Masehi adalah tahun 81 Hijriyyah dan
akhir abad kedelapan dalah tahun 184 Hijriyyah. Kemudian dibandingkan dengan
informasi bahwa sistem diakritikal Al-Qur’an telah diperkenalkan oleh Abu
al-Aswad Du’ali (w.69 H/688M) dimana beliau telah memberikan tanda titik pada
semua mushaf di zaman pemerintahan Mu’awiyah tahun 50H/670M.[3]
Selain itu terdapat bukti bahwa bangsa Arab pra Islam telah
mengenal sistem alfabetiknya sendiri. Abu Bakar Aceh menyebutkan bahwa Banu
Himyar di Yaman, bangsa Ambath di Arab Utara, jauh sebelum masa Nabi Muhammad
telah mengenal huruf Arab . Selain itu
Abu Bakar Aceh mengutarakan bahwa sesudah lahir Islam muncullah tulisan Naskhi
dari gaya tulisan Nibthi dan tulisan Kufi yang meniru gaya tulisan Suryani .
Secara lebih detail, huruf Arab pada masa itu telah ada, namun gaya
penulisannya mengambil dari kedua gaya penulisan yang telah ada sebelumnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori-teori yang telah ditelurkan
kalangan orientalis pada dasarnya masih merupakan kajian yang terkesan
emosional, seadanya, mengambang, dan debatable serta tidak sepi dari berbagai
kepentingan.
Kemajuan terakhir kajian ortografi (ejaan) terhadap Al-Qur’an yang
dilakukan oleh orientalis adalah dengan mengkritisi beberapa ejaan yang tidak sama dalam beberapa
Versi Al-Qur’an kalau boleh dikatakan bahwa Al-Qur’an memiliki versi. Akan
tetapi sebagaimana telah dibuktikan oleh Musthafa A’zami, pada kenyataannya
perbedaan penulisan tersebut tidak mengubah arti dalam makna yang sebenarnya.
Beberapa kritik orientalis tersebut dialamatkan pada penambahan huruf wawu,
penambahan alif, dan penambahan tanda baca lainnya yang secara mendasar tidak
memberikan sebuah pengertian baru. Ada pun beberapa contoh ejaan yang
dimaksudkan, menurut Musthafa A’zami, adalah sebagai berikut :[4]
Surah: ayat
|
Ejaan yang digunakan dalam
Mushaf 'Uthman
|
Bacaan yang sebenarnya
|
2:9
|
|
|
2:51
|
|
|
20:80
|
|
|
Dalam kajian ortografi terhadap Al-Qur’an, orientalis juga masih
berkutat dalam wacana usang tentang isu perbedaan dialek Al-Qur’an yang
dianggap sebagai perbedaan variasi bacaan. Ada perbedaan yang mendasar terkait
pengertian antara variasi bacaan dan perbedaan dialektik. Variasi bacaan,
meminjam istilah A’zami, akan merujuk kepada ketidakpastian. Dalam hal ini
penggunaan istilah varian dan variasi oleh kalangan orientalis, lebih merupakan
upaya untuik menyudutkan Al-Qur’an sebagai kitab yang tidak memiliki
konsistensi akibat perbedaan bacaan pada masing-masing versi (kalau pun ada,
pen). Namun apabila kajian tersebut diarahkan kepada permasalahan dialek, pada
dasarnya hal ini bisa diterima. Rasulullah dalam pengajaran Al-Qur’an telah
memberikan pengajaran Al-Qur’an dalam beberapa dialek yang berbeda. Dalam salah
satu hadits disebutkan bahwa Allah telah mewahyukan kepada Nabi bahwa Al-Qur’an
memiliki tujuh dialek. Namun demikian permasalahan dialek ini juga bukan
persoalan yang sepi dari jamahan orientalis. Konflik kecil yang pernah terjadi
antara Ibnu Mas’ud dan Umar seringkali diangkat sebagai justifikasi bahwa Al-Qur’an
“memang” memiliki variasi bacaan yang berbeda. Merunut lebih lanjut persoalan
antara Umar dan Ibnu Mas’ud, pada kenyataannya konflik kecil tersebut
berlangsung disebabkan seputar masalah dialek saja. Ibnu Mas’ud mengajarkan Al-Qur’an
dengan menggunakan dialek Hudhail sedangkan Umar bersikeras bahwa Al-Qur’an
diturunkan berdasarkan dialek Quraisy. Kesimpulannya, perbedaan dialek tidak
lantas bisa digunakan sebagai justifikasi argumentasi bahwa Al Qur’an memiliki
variasi bacaan.
Beberapa variasi bacaan lain juga diterima sejauh tidak menyangkut
permasalahan perubahan makna yang mendasar. Sebagai contoh kata “qultu” yang
diucapkan dalam salah satu dialek di Mesir lebih terdengar sebagai “’ultu” dan
kata “rijjal” dalam dialek disekitar teluk Syria seringkali dibaca sebagai
“raiyyal”. Sekali lagi hal ini terbatas pada dialek, sedangkan symbol alfabetik
yang digunakan sebagai karakter yang mewakili bahasa tidak memiliki perbedaan sama
sekali.
Selain itu upaya dekonstruksi Al-Qur’an juga dilakukan melalui
upaya dekonstruksi dan delegimitasi karakter serta peran Nabi Muhammad sebagai
penerima wahyu. Isu-isu seperti poligami, jihad Nabi, isu jender, dan berbagai
wacana lainnya digulirkan dengan tujuan agar kepercayaan terhadap kredibilitas
pribadi Nabi melebur dan berakibat secara langsung maupun tidak langsung
terhadap apa yang beliau terima, yaitu keterimaan muslim terhadap Al-Qur’an.
Bahkan umumnya kajian orientalis sengaja diarahkan sampai kepada tingkatan
menganggap bahwa Al-Qur’an adalah perkataan Muhammad saja dan bukan wahyu
Allah.
Upaya orientalis dalam dekonstruksi substansi materi Al-Qur’an
lainnya, orientalis mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki susunan mushaf
yang berbeda dengan mushaf Utsman.
Mushhaf Ali selanjutnya dikenal sebagai “mushaf Aisyah”.[5]
Tuduhan yang demikian merupakan lontaran isu biasa yang tidak mengandung
kebenaran ilmiah. Jika benar ungkapan tersebut, mengapa Ali yang memegang
tampuk khilafah sesudah Utsman masih menggunakan mushaf Utsmani dan tidak
mencoba mengubah sesuai versi yang dimilikinya.
C.
Tuduhan Atas Kemutawatiran Al-Qur’an
1.
Pemikiran Theodor Noldeke
T. Noldeke termasuk kelompok orientalis yang menggugat orisinalitas
dan otentisitas al-Quran dengan harapan untuk mengurangi kekuatan dan peran dalam
masyarakat. T. Noldeke menggambarkan al-Quran sebagai duplikasi dari
kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya dengan melacak hubungan dan analisis
semantik mufradatal-Quran dan kitab-kitab sebelumnya.[6]
Baginya Muhammad saw. Itu seorang impostor,bukan Nabi, al-Quran itu hasil
karangan Muhammad serta tim redaksi sesudahnya.[7]
Noldeke sebenarnya mengembangkan pemikiran Abraham Geiger yang mengatakan bahwa
Al-Quran terpengaruh oleh agama Yahudi. Pertama, dalam hal-hal yang menyangkut
keimanan dan doktrin. kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral. Ketiga,
tentang pandangan terhadap kehidupan.[8]
T. Noldeke pernah mengemukakan pendapatnya mengenai Al-Qur’an
sebagai berikut:
“Kita tidak hanya mempunyai tanggapan-tanggapan yang penuh
keseluruhan dari watak Muhammad itu, bahkan ia mempunyai karya yang otentik
yaitu Al-Qur’an, yang disampaikan atas nama Allah. Sekalipun demikian tokoh
yang luar biasa dan menarik dan mengerikan itu dalam banyak hal tetap merupakan
teka-teki. Ia banyak sekali mendalami agama Yahudi dan agama Kristen, tapi
hanya melalui laporan lisan belaka dan pasti kita tidak akan puas dengan
banyaknya khayalan (the grossness of imagination), kekurangan logika (the
undenibable poverty of thought),dan lain sebagainya …”
Noldeke menyebutkan
banyak kekeliruan dalam al-Quran karena “kejahilan Muhammad” tentang sejarah
awal agama Yahudi—kecerobahan nama-nama dalam perincian yang lain yang ia curi
dari sumber-sumber
Yahudi. Dengan membuat daftar kesalahan yang menyebut, “Bahkan orang Yahudi
yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri
Ahasuerus) untuk menteri Firaun, atau pun menyebut Miriam saudara perempuan
Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al Masih….Dan dalam kebodohannya tentang
sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan
hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang karena hujan, dan
bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil”.[9]
2.
Pemikiran Arthur Jeffry
Keseriusan Jeffery mengkaji al-Qur’an terus dilakukan dengan
konsisten sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1957, terbitlah buku Jeffery
berjudul The Koran, Selected Suras: Translated from the Arabic. Dalam buku ini
Jeffery menerjemahkan 64 surah al-Qur’an dan memberi catatan-catatan. Dalam
terjemahannya, Jeffery menyusun sendiri urutan-urutan surah-surah yang
menggambarkan keyakinannya tentang susunan surah al-Qur’an yang sebenarnya.
Jeffery tidak menganggap al-Fatihah sebagai bagian dari al-Qur’an. Bagi
Jeffery, surah kedua bukan al-Baqarah, tetapi al-Alaq, Surah ketiga bukan Ali
Imron, tetapi al-Mudaththir. Susunan surat yang mirip itu sudah dilakukan
sebelumnya oleh para orientalislain seperti Theodor Noldeke, Friederich
Schwally, Edward Sell, Richard Bell dan Regis Blachere.[10] Jeffery juga menuduh bahwa al-Hajjaj ibn
Yusuf al-Thaqafi (m.95 H) telah membuat al-Qur’an versi baru secara menyeluruh.
Jeffery juga menyalahkan Ibn Mujahid yang mengikis perbedaan qiraah dengan
memprovokasi khalifah untuk menghukum Ibn Shanabudh di Baghdad (245-328).
Selain itu, dalam pandangan Jeffery, al-Qur’an memuat sejumlah permasalahan
yang sangat mendasar. (1) Aksara gundul di dalam mushaf ‘Utsman yang menjadi
penyebab perbedaan varian bacaan. (2) Mushaf-mushaf yang sejak awal sudah beredar
adalah mushaf-mushaf tandingan (rival codices). Berdasarkan mushaf-mushaf
tersebut, Jeffery berpendapat bahwa al-Fatihah bukanlah bagian dari al-Quran.
Al-Fatihah adalah do’a yang diletakkan di depan dan dibaca sebelum membaca
al-Qur’an. (3) Jeffery juga menegaskan bahwa ada ayat-ayat yang hilang di dalam
al-Qur’an.
Berseberangan dengan opini yang dikembangkan kalangan ortodoksi
Islam, beberapa sarjana Barat justru mengemukakan teori sebaliknya bahwa
al-Quran telah dikumpulkan pada masa Nabi. Sebagaimana telah dikemukakan dalam
bab lalu, Bell – berpijak pada doktrin nasikh-mansukh serta sejumlah “bukti”
internal tentang revisi di dalam al-Quran dan penggunaan dokumen tertulis –
mengemukakan bahwa Nabi sendirilah yang “mengumpulkan” dan mengedit teks final
al-Quran.[11]
Eksistensi mushaf yang berasal dari Nabi itu jelas sangat meragukan, karena
kalau mushaf semacam itu benar-benar eksis, maka kebutuhan untuk mengumpulkan
al-Quran setelah meninggalnya Nabi tidak mungkin muncul ke permukaan.
Kesimpulan ini, tentu saja, tidak menegasikan eksistensi mushaf-mushaf yang
diupayakan pengumpulannya secara personal oleh sejumlah sahabat ketika proses
pewahyuan al-Quran tengah berlangsung, dan kemudian disempurnakan beberapa saat
setelah wafatnya Nabi.
D.
Tuduhan
Ketidak Sempurnaan Al-Qur’an
Inilah salah satu ketakinan kaum Rafidhah. Mereka menganggap bahwa
Al Qur’an yang saat ini ada di tengah-tengah kita bukanlah Al Qur’an yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi kita Muhammad SAW. Rafidhah mengatakan bahwa
Al Qur’an yang ada saat ini telah diubah dan diganti bahkan ada yang ditambah
dan ada pula yang dikurangi. Klaim inilah yang dinyatakan oleh mayoritas ulama
hadits Syi’ah yaitu Al Qur’an yang ada telah mengalami tahrif (penyelewengan)
sebagaimana disebutkan oleh ulama Syi’ah sendiri. Beberapa bukti tentang
pernyataan kaum Syi’ah:
a.
Muhammad bin Ya’qub Al
Kalini berkata dalam Ushulul Kaafi “Tidak ada yang mengumpulkan seluruh Al
Qur’an selain seorang imam”. Dari Jabir, aku mendengar Abu Ja’far berkata,
“Barangsiapa menganggap bahwa seseorang bisa mengumpulkan seluruh isi Al Qur’an
yang Allah turunkan maka ia telah berdusta. Tidak ada yang bisa mengumpulkan
dan menjaga Al Qur’an sebagaimana yang Allah turunkan selain ‘Ali bin Abi
Tholib dan para imam setelahnya”
b.
Dari Hisyam bin Salim, dari
‘Abu ‘Abdillah ‘alaihis salam, ia berkata, “Al Qur’an yang dibawa oleh Jibril
‘alaihis salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat
17.000 ayat”.[12] Padahal
jumlah ayat Al Qur’an –yang disepakati- adalah 6200 ayat dan diperselisihkan
lebihnya. Ini artinya kaum Rafidhah mengklaim bahwa Al Qur’an yang sebenarnya
ada tiga kali dari Al Qur’an yang ada saat ini. Mushaf ini mereka sebut dengan
mushaf Fathimah. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan mereka.
c.
“Lafazh aali Muhammad wa
aali ‘Ali (bin Abi Tholib) –keluarga Muhammad dan keluarga ‘Ali- telah terhapus
dari Al Qur’an”.[13]
Lihatlah pula bagaimana tuduhan keji Syi’ah sampai menyatakan bahwa Al Qur’an
yang ada saat ini ada yang terhapus. Hal ini pun menunjukkan bagaimana
pengkultusan mereka terhadap ‘Ali bin Abi Tholib.
d.
Kaum Syi’ah Imamiyah
mengklaim bahwa dalam surat sebenarnya terdapat surat yang disebut Al-Wilayah dimulai dengan ayat,
يا أيها الذين آمنوا بالنورين
Wahai orang-orang yang beriman kepada Nuroin”. Mereka
menyatakan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan (yang disebut Dzun Nuroin –karena mengawini
dua puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-) telah menghapus surat
ini.
e.
Kaum Syi’ah diperintahkan
tetap membaca Al Qur’an yang ada di tengah-tengah kaum muslimin saat ini dalam
shalat dan keadaan lainnya, juga mengamalkan hukumnya sampai datang suatu zaman
di mana Al Qur’an di tengah kaum muslimin akan diangkat ke langit, lalu
keluarlah Al Qur’an yang ditulis oleh Amirul Mukminin, lalu Al Qur’an tersebut
yang dibaca dan hukumnya diamalkan.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari beberapa wacana mengenai sikap
orientalis dan beberapa tuduhan seputar kodifikasi AL-Qur’an dapat simpulkan
sesuai rumusan masalah yang ada yaitu sebagai berikut:
1.
Bahwa kaum Orientalis senang mempelajari Al-qur’an
untuk mencari kelemahan daripada Al-Qur’an tersebut.
2.
Upya
pelemahan tentang tuduhan kesalahan penulisan teks Al-qur’an melalui
a.
Melalui
Paleografi, biasanya menggunakan manifestasi dari bahasa tulis dengan
memperhatikan abjadnya.
b.
Melalui
ortografi, biasanya melalui manifestasi bahasa ejaan yang berlaku dalam
masing-masing dialek.
c.
Melalui
materi dan substansi yang terkandung dalam Al-Qur’an.
3.
Banyak sekali dari kaum orientalis yang melontarkan
tuduhannya terhadap ketidakmutawatiran Al-qur’an diantaranya adala “T. Noldeke dan Arthur Jeffry”.
4.
Bahwa
yang melakukan tuduhan atas ketidak sempurnaan Al-Qur’an adalah kaum syi’ah
dengan berbagai bukti yang dimilikinya.
B.
PENUTUP
Pada kesempatan akhir dari
tulisan ini akan lebih bijaksana apabila kita melakukan upaya mentadaburi Al
Quran. Kitab suci ini telah menginformasikan bahwa musuh-musuh Islam tidak akan
berlepas diri sebelum pengaruh mereka merasuki pemikiran muslim. Kami sebagi
penulis makalah ini mengucapkan minta maaf bila terjadi kesalahan dalam
penulisan atau keterangan yang kami dapat peroleh mengenai isi makalah di atas.
Daftar Pustaka
A’zami, The History The
Qur’anic Text : from Revelation to Compilation. GIP : Jakarta,
Al-kulani.Usulul Kaafi 2. (“http://rumaysho.com/”24
Rabi’ut Tsani 1433 H)
Arthur Jeffery, “Christian at Mecca, The Muslim World 19
(1929), Dalam (Anwar Syarifudin.Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis.)
Habibullah Al Khowai. Minhaj Al Baro’ah Syarh Nahjul Balaghoh (“http://rumaysho.com/”24
Rabi’ut Tsani 1433 H)
M. Idris A. Shomad. Al Quran Sebagai Wahyu Illahi. (Jurnal Al Insan
vol. 1 No. 1, 2005).
M.M. Azami, The History of The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP,
2005) Terj. Sohirirn Solihin, dkk.
M. Musthafa A’zami. The History
of The Quranic Text :from Rrevelation to Compilation. (Materi download
ebook dari www.pakdenono.com )
Nasaruddin
Umar, Al-Quran di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warraq dan Mark A.
Gabriel, dalam Jurnal Studi al-Quran, edisi kedua.
Sholahuddin,
Henry. 2007. Al-Qur’an Dihujat. Al Qalam : Jakarta.
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, cetakan
pertama Februari 2008,
Taufik Adnan
Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an. 2011. Jakarta.
[1]
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama
Februari 2008, hal.2
[2]
Sholahuddin, Henry. 2007. Al-Qur’an Dihujat. Al Qalam : Jakarta, hal.124
[3]
A’zami, The History The Qur’anic Text :
from Revelation to Compilation. GIP : Jakarta, hal :162
[4] M. Musthafa A’zami. The History of
The Quranic Text :from Rrevelation to Compilation. (Materi download ebook
dari www.pakdenono.com )
[5] M.
Idris A. Shomad. Al Quran Sebagai Wahyu Illahi. (Jurnal Al Insan vol. 1 No. 1,
2005). Hal.88
[6]
Nasaruddin Umar, Al-Quran di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warraq dan
Mark A. Gabriel, dalam Jurnal Studi al-Quran, edisi kedua, h. 91-93.
[7]
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama
Februari 2008, h. 24.
[8]
http://pikirancerah.wordpress.com/tag/orientalisme/ pada tgl 30/9/`11 jam 7.53.
[9]
M.M. Azami, The History of The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP, 2005) hal.
341. Terj. Sohirirn Solihin, dkk.
[10]
Arthur Jeffery, “Christian at Mecca, The Muslim World 19 (1929), hlm.
76. Dalam (Anwar Syarifudin.Kajian
Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis.hal.47)
[11]
Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an. 2011. Jakarta. Hal.163
[12]Al-kulani.Usulul Kaafi.2:634(“http://rumaysho.com/”24
Rabi’ut Tsani 1433 H)
[13]Habibullah
Al Khowai. Minhaj Al Baro’ah Syarh Nahjul Balaghoh (2: 216). (“http://rumaysho.com/”24
Rabi’ut Tsani 1433 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar